Buku-buku karya Al Buthi banyak beredar di Indonesia dan beliau juga karyanya banyak menjadi rujukan.
Muhammad Sa’id ibn Mula Ramadhan ibn Umar al-Buthi dilahirkan di wilayah Buthan (Turki) pada tahun 1929 dari sebuah keluarga yang cerdas dan taat beragama. Ayahnya, Syekh Mula Ramadhan adalah salah seorang tokoh ulama besar di Turki, termasuk di Syam. Sesaat setelah peristiwa kudeta yang dilancarkan oleh Kemal Attatruk, ia pindah ke Syria bersama ayahnya. Sa’id kecil saat itu baru berusia empat tahun. Guru pertama baginya adalah ayahnya sendiri. Ayahnya pula yang memulai menanamkan pendidikan yang bermanfaat dan membesarkannya dengan wawasan keilmuan yang tinggi. Dengan segala kecerdasannya, Sa’id sendiri haus akan ilmu dan memiliki ingatan yang mengagumkan
Muhammad Sa’id ibn Mula Ramadhan ibn Umar al-Buthi dilahirkan di wilayah Buthan (Turki) pada tahun 1929 dari sebuah keluarga yang cerdas dan taat beragama. Ayahnya, Syekh Mula Ramadhan adalah salah seorang tokoh ulama besar di Turki, termasuk di Syam. Sesaat setelah peristiwa kudeta yang dilancarkan oleh Kemal Attatruk, ia pindah ke Syria bersama ayahnya. Sa’id kecil saat itu baru berusia empat tahun. Guru pertama baginya adalah ayahnya sendiri. Ayahnya pula yang memulai menanamkan pendidikan yang bermanfaat dan membesarkannya dengan wawasan keilmuan yang tinggi. Dengan segala kecerdasannya, Sa’id sendiri haus akan ilmu dan memiliki ingatan yang mengagumkan
Setelah
menamatkan pendidikan Ibtidaiyah, ayahnya mendaftarkan sang anak di
Ma’had at-Taujih al-Islamy di daerah Meidan, Damaskus di bawah
pengawasan seorang mahaguru al-‘Allamah Syekh Hasan Habannakeh
–rahimahullah. Syekh Hasan mengetahui pada diri Sa’id terdapat
kecerdasan yang menonjol, karena itulah ia amat memperhatikannya dan
menjadikannya fokus pengawasan, hingga Sa’id dapat menamatkan pendidikan
Ma’had-nya dan menggondol Ijazah Tsanawiyah Syar’iyyah.
Selanjutnya, Sa’id menuju Cairo dan meneruskan studinya dengan
spesialisasi ilmu Syariah hingga memperoleh Ijazah Licence. Pendidikan
Diploma-nya (setingkat S2) ia ikuti di Fakultas Bahasa Arab. Pada tahun
1965, Sa’id Ramadhan menyelesaikan program Doktornya di Univ. Al-Azhar
dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula. Disertasi yang ia tulis dan berjudul
“Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’at al-Islamiyyah,” mendapatkan
rekomendasi Jami’ah al-Azhar sebagai “Karya Tulis yang Layak
Dipublikasikan.”
Sa’id Ramadhan menguasai berbagai disiplin ilmu. Di samping secara
khusus menekuni sastra, ia amat ‘menikmati’ keluhuran ajaran Islam,
karena itulah ia mempelajari filsafat dan ilmu ‘debat’ untuk menghadapi
pemikiran para atheis dan ahli bid’ah. Berbagai dialog yang
menghadirkannya membuktikan bahwa Sa’id adalah tipikal ulama pemikir
yang tenang, memiliki ketajaman analisis dan kedalaman pandangan.
Nampaknya, keikhlasannya berdakwah menyiarkan ajaran Islam adalah alasan
yang paling utama dari kesuksesannya dan kecintaan orang-orang padanya.
Ia menjadi tenaga pengajar di Fak. Syari’ah Univ. Damaskus semenjak
1961. Kemudian Ketua Jurusan Fiqh Islam pada Fak. Syariah dan pada
gilirannya duduk sebagai Dekan Fakultas pada tahun 1977. Saat ini Sa’id
Ramadhan bekerja sebagai Guru Besar di Fakultas Syariah Univ. Damaskus
dalam bidang Fiqh Islam. Menghadiri berbagai muktamar penting dunia
Islam; Aljazair, Saudi Arabia, Emirat, Bahrain, dan Turki serta belahan
lain dunia Barat. Saat ini ia duduk sebagai anggota Lembaga Kajian
Peradaban Islam milik kerajaan di Yordania.
Sa’id Ramadhan amat dikagumi oleh para ulama dan pemikir muslim dari
berbagai penjuru, karena ketinggian ilmu dan kehebatan argumentasinya
dalam berbagai diskusi. Sa’id aktif memberikan cermah/pengajian di
beberapa masjid di Damaskus. Pengajian Mingu Malam (al-Hikam li
Athoillah as-Sakandari) dan Kamis malam (Riyadlush-Shalihin li al-Imam
an-Nawawi) di Masjid al-Iman Damaskus selalu dipenuhi oleh ribuan kaum
muslimin .
Karya-Karya Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan Al Buthi
1. Muhadhorot
Fil Fiqhil Muqharin Ma'a Muqaddimati Fi Bayani Asbabi Ikhtilafi al-Fuqaha' Wa
Ahammiyyati Dirasatil Fiqhil Muqarin (Problematika Dalam Fiqh Muqarin, Sebab
Terjadinya Perbedaan Fuqaha', Dan Pentingnya Mempelajari Fiqh Muqarin) محاضرات في الفقه المقارن مع مقدمه في بيان اسباب اختلاف
الفقهاء و اهميه دراسه الفقه المقارن
2. Al-Islam
Maladz Kulli Mujtama'at Insaniyyah; Limadza Wa Kaifa? (Islam Tempat Berlindung
Seluruh Masyarakat Sosial; Mengapa dan Bagaimana?) محاضرات
في الفقه المقارن مع مقدمه في بيان اسباب اختلاف الفقهاء و اهميه دراسه الفقه
المقارن
3. Al Jihad Fil
Islam; Kaifa Nafhamuhu ? Wa Kaifa Numarisuhu? (Jihad dalam Islam; Bagaimana
Kita Memahami dan Melaksanakannya? الاسلام ملاذ كل
المجتمعات الانسانيه:لماذا..و كيف 4. Salafiyyah;
Marhalah Zamaniyyah Mubarakah La Madzhab Islami السلفيه:مرحله
زمنيه مباركه لا مذهب اسلامي
5. Al 'Uqhubat
Islamiyyah; Wa 'Aqduhu al-Tanaqhudhu Bainaha Wa Baina Ma Yusamma Bithobi'ihal
'Ashri العقوبات الاسلاميه:و عقده التناقض بينها و بين
ما يسمي بطبيعه العصر
6. Hurriyatul
Insan Fi Dhilli 'Ubudiyyahatihi Lillah (Kebebasan Manusia Dalam Beribadah) حريه الانسان في ظل عبوديته لله
7. Difa' 'An
Islam Wa Tarikh (Belaan Terhadap Islam dan sejarah) دفاع
عن الاسلام و التاريخ 8. Al Islam Wa
'Asru; Tahaddiyat Wa 'Afaq (Islam dan Modernisme; Sebuah Tantangan dan Harapan)
الاسلام و العصر:تحديات و افاق
8. Al Aqidah Al
Islamiyyah wa Al Fikr al Mu’asirah
9. Al La
Madzhabiyyah Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu as Syari’ah Al Islamiyyah
10. Al Mazdhab
al Iqtishady Baina Syuyu’iyyah Wal Islam
11. Dhawabitu
Al Maslahat Fi As Syariah al Islamiyyah
12. Fi
Sabilillahi Wa Al Haq
13. Fiqhus
Sirah
14. Hiwar Haula
Musykilati Hadhariyyah
15. Kubra
Yaqiniyyati al Kauniyyah
16. Mbahitsul
Kitab Wa As Sunnah min ‘Ilmi Ushulil Fiqhi
17. Mamuzain,
Qishatu Hubbub Nabati Fi Al Ardhi wa Aina’u fi As Sama’, Mutarjamah
18. Manhaj Al Hadharah
al Insaniyyah Al Jadaliyyah
19. Manhaj Al ‘Audah
Ilal Islam
20. Masalatu
Tahdidi an Nashli Wiqayatn wa ‘Ilajan
21. Min Al
fikri wa Al Qalbi
22. Min Rawaiyl
Qur’an
23. Naqdul
Auhami Al Maddiyah Al Jadaliyah
24. Tajribatut
Tarbiyah Al Islamiyyah Fi Mizan Al Bahts
25. Al insan Wa Adatullahi Fi Al Ardli
26. Al islamu
Wa Muskilatus sabab
27. Bathinul
Ismi al Khatar Fi Hayatl Muslimin
28. Hakadza Fal Nad’u al Islam
29. Ila Kulli
fatatin Tu’minu Billah
30. Man Huwa Sayyidu
al Qadri fi Hayatil Insan
31. Minal Mas’ul
‘An Takhallufi Al Muslimin
32. Min Asrari
Alk Manhaj Al Islami
Pemikiran Hukum Said Ramadhan al-Buthi
Said Ramadhan berbeda dengan pemikir Islam pada umumnya yang
berpandangan bahwa hukum Islam berupa potong tangan, qishash, rajam dan
lain sebagainya sudah tidak relevan lagi untuk konteks saat ini. Menurut
Said, hukum Islam berupa potong tangan, qishash, rajam dan lain
sebagainya adalah hukum yang tetap relevan untuk konteks saat ini dan
juga seterusnya. Pemikirannya ini, secara spesifik ia tuangkan dalam
tulisannya yang berjudul al-uqubat al-islamiyyah wa uqdat at-tanaqudz
bainaha wa baina maa yusamma bi thabi’at al-‘asyri.
Dalam karyanya itu, Said Ramadhan mengklasifikasikan jenis hukuman (‘uqubat) menjadi dua macam, yaitu:
1. Hukuman pasti (‘uqubat muqaddarah), yaitu jenis hukuman yang bentuk
serta ukurannya telah diatur secara mapan oleh syari’ (Allah) melalui
nash al-Qur’an maupun hadits dan tak ada ruang lagi untuk mengubahnya.
Hukuman ini tetap berlaku tanpa terikat oleh ruang dan waktu.
2. Hukuman yang belum pasti (‘uqubat ghair muqaddarah), yaitu jenis
hukuman yang bentuk serta ukurannya tidak diatur secara spesifik (rigid)
oleh syari’, akan tetapi ia diserahkan pada pertimbangan seorang hakim
bagaimana memutuskannya secara tepat dan baik selama tidak melampaui
batas-batas yang telah digariskan.
Untuk jenis pertama, hukuman tersebut erat kaitannya dengan tindak
pidana berat yang beredar di masyarakat, adakalanya berupa pelanggaran
terhadap hak asasi Allah, hak asasi manusia dan juga tindak pidana yang
dianggap sangat mengancam serta membahayakan tegaknya sendi-sendi moral
masyarakat. Hak asasi yang dimaksudkan oleh Said di sini ialah hak-hak
pokok yang diberikan oleh Islam kepada setiap individu berupa
perlindungan terhadap agama (hifdz ad-din), keselamatan jiwa (hifdz
an-nafs), akal pikiran (hifdz al-‘aql), kelangsungan keturunan (hifdz
an-nasl) serta perlindungan terhadap harta benda (hifdz al-mal)
miliknya. Dalam nomenklatur kajian ushul fiqh hak-hak asasi di atas
sering kali diistilahkan dengan ad-dharoriyat al-khams.
Untuk menjamin agar setiap individu memperoleh hak-hak tersebut di atas
maka dalam pandangan Said Ramadhan, Islam mensyariatkan adanya
hukuman-hukuman pasti yang tak seorang pun berhak untuk mengubahnya
yaitu:
a. hukuman mati bagi orang murtad (keluar dari agama Islam). Hukuman ini
di syariatkan sebagai upaya perlindungan terhadap agama (hifdz ad-din).
b. Hukuman qishas, di syariatkan untuk menjamin hak hidup seseorang.
c. Hukuman hadd bagi pemabuk, disyariatkan sebagai upaya perlindungan terhadap akal pikiran seseorang (hifdz al-‘aql).
d. Hukuman hadd bagi pelaku zina dan penuduh zina (qadzaf), dalam rangka
menjamin dan melindungi hak reproduksi seseorang (hifdz an-nasl).
e. Hukuman hadd bagi pencuri dan pembegal (qathi’ at-thariq), dalam
rangka menjamin dan melindungi hak kepemilikan seseoarang (hifdz
al-mal).
Adapun untuk jenis hukuman yang kedua, menurut Said itu terkait dengan
tindak pidana selain yang telah ditentukan di atas, yaitu tindak pidana
yang tidak berdampak langsung pada hilangnya salah satu hak asasi
seseorang (ad-dharoriyat al-khams), akan tetapi terbatas pada hal-hal
yang dapat mengganggu kenyamanan hidup seseorang baik yang bersifat
hajiyah (sekunder) ataupun tahsiniyah (tersier). Dalam hal ini hakim
cukup menentukan hukuman (ta’zir) yang cocok dan sesuai dengan tingkat
kejahatan atau beratnya pelanggaran yang ia lakukan.
Dari klasifikasi jenis hukuman di atas, yang cukup menyita perhatian
Said Ramadhan ialah diskursus mengenai penerapan jenis hukuman pertama
yang beliau istilahkan dengan hudud (bentuk plural dari kata hadd).
Banyak pemikir Islam kontemporer yang menolak diberlakukannya hukum hadd
dengan alasan sudah tidak relevan lagi dengan konteks sosial saat ini.
Menurut Said, alasan demikian itu tidaklah dapat dibenarkan. Dalam
pandangannya alasan tersebut timbul karena dua faktor utama, yaitu :
a. Kondisi kejiwaan (psikologi) seseorang yang cenderung beranggapan
bahwa segala sesuatu yang telah lampau itu kuno (kadaluarsa) dan tak
patut di pertahankan.
b. Adanya anggapan bahwa hukum pidana Islam itu bengis, kejam, dan
melanggar HAM, tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan abad 20.
Kedua faktor di atas, dalam pandangan Said Ramadhan sama sekali tidak
dapat dijadikan pijakan untuk menilai apakah hukuman hadd itu relevan
atau tidak untuk konteks sosial saat ini. Keduanya tidak lain merupakan
ilusi (wahm) belaka dan bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
logis dan rasional. Penolakan sekelompok orang terhadap hukum hadd
semata-mata timbul karena rasa bosan, jenuh pada hukum hadd yang ia
anggap sebagai produk Islam masa lampau yang telah usang. Hal ini dapat
ditelusuri melalui pendekatan psikologi, yang mana seseorang cenderung
akan mengabaikan, membuang dan bahkan merusak segala sesuatu yang telah
lama dimiliki manakala ia telah merasa jenuh dengannya, lalu
menggantinya dengan sesuatu yang baru. Rasa jenuh inilah yang pada
akhirnya melahirkan sebuah ilusi (wahm) bahwa segala sesuatu yang telah
termakan usia itu membosankan.
Dalam pandangan Said Ramadhan, tidak semua hal yang modern itu lebih
baik dari hal-hal yang berasal dari masa lampau. Lebih dari itu, justeru
tidak sedikit yang modern itu menjadi sumber malapetaka dan sebaliknya
yang kuno itu menjadi sumber kehidupan. Dunia menyaksikan bahwa
matahari, air, bumi dan udara adalah produk masa lampau yang sampai saat
ini menjadi sumber kehidupan. Matahari yang kita saksikan hari ini
adalah matahari sebagaimana yang disaksikan oleh orang-orang yang hidup
pada ribuan tahun yang lalu, ia terbit dari ufuk timur dan terbenam di
ufuk barat, sama sekali tidak berubah.
Selanjutnya bila dikatakan bahwa hukum Islam itu kejam, bengis dan sama
sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan maka -menurut Said-
apa tidak lebih baik jika hukuman itu sekalian saja dihapuskan dari
masyarakat. Sehingga mereka memliki kebebasan dalam melakukan apa saja
yang mereka inginkan tanpa merasa khawatir akan adanya hukuman. Hanya
saja yang demikian itu tentu menyalahi kodrat yang berlaku di tengah
masyarakat. Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Oleh karena
itu butuh adanya suatu hukuman yang berat, menyakitkan dan menjerahkan
demi mengendalikan sifat buas manusia itu. Hukuman tersebut adalah
hukuman yang sesuai dan setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan.
Semakin besar tindak pidana yang diperbuat oleh seseorang , maka semakin
besar pula bahaya yang akan ditimbulkan. Dan semakin besar bahaya yang
ditimbulkan maka semakin berat pula hukuman yang akan ia tanggung.
Setiap bangsa tentu memiliki penilaian mengenai berat tidaknya tindak
pidana serta hukuman yang dikenakan. Namun demikian, penilaian tersebut
masih relatif, berbeda antara yang satu dengan yang lain. Apa yang
dianggap sebagai masalah kecil oleh suatu bangsa terkadang ia merupakan
masalah yang sangat besar menurut penilaian bangsa lain. Tindak pidana
yang menurut suatu bangsa telah pantas mendapatkan hukuman mati, belum
tentu pantas dalam pandangan bangsa lain. Karena itulah Islam sebagai
agama wahyu yang universal, menggariskan ketentuan-ketentuan baku berupa
hukuman-hukuman yang sesuai dengan prinsip keseimbangan, baik
keseimbangan alam, keseimbangan manusia dan juga keseimbangan hidup .
Jangan sampai hukuman yang diberikan itu melampaui batas hukuman yang
semestinya diperoleh, atau sebaliknya hukuman itu kurang dari ketentuan
yang sepantasnya ia peroleh.
Menurut Said penilaian bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang kejam
dan bengis merupakan penilaian yang bersumber dari kesimpulan yang
terlalu gegabah. Mereka yang memiliki pandangan demikian itu hanya
melihat hukum pidana Islam dari satu sisi saja, yaitu dari sisi potong
tangannya atau dari sisi rajamnya, ia tidak melihatnya secara utuh dari
sisi-sisi yang lain. Misalnya kapan hukuman tersebut dapat dilaksanakan,
proses apa saja yang harus dilalui dan apakah hukuman tersebut
satu-satunya hukuman yang harus dijalankan tanpa ada alternatif hukuman
pengganti manakala tindak pidana itu terkait dengan hak adami.
Hukum rajam atau potong tangan misalnya, keduanya dapat gugur ketika
terdapat syubhat (alasan-alasan pemaaf). Dalam suatu riwayat dijelaskan
bahwa khalifah Umar pernah membebaskan seorang perempuan yang telah
melakukan zina dengan alasan demi menyelamatkan jiwanya yang waktu itu
dalam keadaan haus dan hampir mati. Jiwanya hanya akan selamat manakala
ia bersedia melakukan zina bersama rekannya yang waktu itu memiliki
cukup persediaan air susu domba, namun sebagai imbalannya si perempuan
tersebut harus mau berzina dengannya. Dalam kesempatan lain khalifah
Umar juga pernah membebaskan seorang pencuri dari hukuman potong tangan
dengan alasan waktu itu tengah terjadi musim paceklik (kelaparan),
sehingga memaksa orang itu untuk melakukan pencurian. Hukuman bebas yang
diberikan oleh Umar kepada dua pelaku tindak pidana tersebut tidak lain
dikarenakan adanya syubhat yang dapat menghalangi diterapkannya suatu
hukuman.
Namun demikian, Said sangat tidak setuju jika apa yang dilakukan oleh
khalifah Umar tersebut dikatakan sebagai suatu tindakan yang telah
keluar dari ketentuan nash karena lebih mempertimbangan faktor
kemaslahatan atau maqasid syariah¬-nya. Dan inilah yang seringkali
disalahpahami oleh sebagian pemikir muslim kontemporer dengan menjadikan
ijtihad Umar tersebut sebagai legitimasi pembenar upaya keluar dari
kungkungan teks. Dalam pandangan Said, kemaslahatan itu baru dapat
dibenarkan jika tidak bertentangan secara langsung dengan nash sharih
ataupun nash dhahir al-Qur’an dan Hadits. Apa yang dilakukan oleh
khalifah Umar tersebut merupakan salah satu bentuk ijtihad beliau
terhadap hadits Rasulullah -sallallahu ‘alaih wasallam- yang berbunyi
idra’ al-hudud ‘an al-muslimin bi as-syubuhat , hindarilah hukuman hadd
terhadap umat Islam karena adanya syubhat. Keputusan Umar untuk
memberikan kebebasan tersebut adalah bentuk ijtihad yang beliau lakukan
dalam menafsirkan maksud syubhat pada teks hadits di atas. Jadi, dalam
hal ini ijtihad yang Umar lakukan sama sekali tidak keluar dari nash,
akan tetapi masih dalam koridor nash (dhimna dilalat al-alfadhz).
Khalifah Umar memahami bahwa hadits di atas adalah menempati posisi
sebagai mukhossis (membatasi) dari keumuman surat al-Maidah: 38 yang
berkenaan dengan hukuman potong tangan serta surat an-Nur: 2 yang
berkenaan dengan hadd pelaku zina.
Selain gugurnya hukuman karena adanya syubhat, yang juga luput dari
perhatian para penentang diterapkannya hukum pidana Islam pada umumnya
ialah mengenai hukuman qishas (mati) bagi pembunuh dan hadd bagi pelaku
qadzaf (menuduh zina). Hukuman tersebut hanya bisa diterapkan apabila
ada tuntutan dari keluarga korban yang dibunuh dan juga dari maqdzuf
(orang yang dituduh telah melakukan zina). Yang demikian ini adalah
pendapat ulama syafiiyyah, hanabilah, Abi Tasur dan sejumlah ulama
lainnya. Dan seandainya keluarga korban memberikan ampunan pada pelaku,
maka hukuman qishas tersebut gugur dan sebagai gantinya keluarga korban
bisa menuntut diyat (denda) dari pelaku. Bahkan bila keluarga korban
menghendaki maka si pelaku bisa saja terbebas dari segala jeratan hukum
baik qishas ataupun diyat. Selanjutnya tergantung pada kebijakan seorang
hakim, bentuk hukuman (ta’zir) seperti apa yang pantas diberikan kepada
pelaku pidana tersebut.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !